Cerita Tentang Gagak, Kukuk dan Burung Hantu
Blog Iman Prabawa - Tahukah kamu bahwa dahulu kala, Burung Hantu hidup seperti burung-burung lain? Ya, ia berburu makanan di kala siang dan pergi mengunjungi teman-temannya di bawah kehangatan sinar mentari. Lalu seperti burung-burung lain, ia juga tidur di malam hari.
Masa itu sudah lama sekali berlalu. Waktu itu Burung Hatu sama sekali tidak terbayang bahwa dia kelak akan menjadi burung hantu seperti yang kita kenal sekarang. Saat itu adalah musim semi yang indah. Udara berembus hangat dan sarat akan keharuman bunga lilac yang bermekaran.
Burung Hantu sedang bersantai di batang sebuah pohon ketika seorang anak laki-laki berjalan melewatinya. Anak ini membawa ketapel, dan ketika ia melihat Burung Hantu, terbitlah rasa usil di hatinya. Tanpa ragu, anak ini mengambil ketapel miliknya dan membidik Burung Hantu.
"Owww!" Burung Hantu memekik kesakitan. Umpan lumpur yang ditembakkan anak laki-laki itu tepat mengenai bokong Burung Hantu. "Aduh...," Burung Hantu merintih. Tanpa daya, ia melihat anak laki-laki itu kabur dengan tawa puas. "Sekarang, apa yang harus kulakukan?"
Burung Hantu benar-benar tidak tahu bagaimana cara meredakan rasa sakitnya. Akhirnya ia bertanya pada Gagak, sahabatnya yang kebetulan sedang terbang di dekat-dekat situ. Siapa tahu, Gagak bisa membantu.
"Hei, Gagak!" panggil Burung Hantu. "Aku baru ditembak ketapel oleh seorang bocah laki-laki. Rasanya sakit sekali. Apa yang harus kulakukan?"
Gagak buru-buru menghampiri dengan prihatin. Ia menggoyang-goyangkan kepala hitamnya yang berkilai ke depan dan ke belakang. sembari memeriksa kondisi Burung Hantu. "Aku juga tidak tahu apa yang harus dilakukan," kata Gagak penuh sesal. "Bagaimana kalau kita pergi menemui Burung Kukuk? Biasanya dia ahli menangangi masalah-masalah seperti ini."
Maka pergilah kedua makhluk itu ke tempat Burung Kukuk. Burung Hantu masih melolong kesakitan ketika tiba di sana. "Tolonglah, apa kau bisa membantu temanku?" tanya Gagak pada Burung Kukuk. "Dia kesakitan karena ditembak ketapel."
"Hmm, bagaimana ya?" Burung Kukuk berpikir-pikir. "Aku bisa saja membantu, tapi aku harus dibayar di muka." Burung Hantu yang malam. Ia tidak memiliki uang atau apa pun yang bisa ditawarkan kepada Burung Kukuk.
"Aku tidak punya apa-apa saat ini," ucap Burung Hantu. "Tapi aku berjanji, begitu sembuh, aku akan mencari cara untuk membayarmu." Aku tidak mengenalmu, bagaimana aku bisa percaya padamu?" balas Burung Kukuk. "Setelah sembuh nanti jangan-jangan kau langsung kabur dan melupakan hutangmu."
Gagak tidak tega melihat Burung Hantu yang kesakitan harus panjang-panjang berdebat. "Tenanglah, Burung Kukuk. Aku yang menjamin temanku," kata Gagak. "Aku janji, kalau sampai Burung Hantu tidak membayar, maka aku yang akan membayar hutangnya."
Burung Kukuk merenungkan tawaran Gagak. "Baiklah, aku terima jaminan itu." Ia akhirnya menyanggupi, lalu merunduk untuk memerika butiran lumpur kering yang masih menempel di bokong Burung Hantu.
"Aku tahu," ucap Burung Kukuk pada Burung Hantu. "Ini yang harus kau lakukan, pergilah ke sungai yang mengalir dan berendamlah di sana selama enam jam. Aku jamin, setelah itu kau pasti sembuh." Burung Hantu merasa amat lega. Ia langsung melesat secepat mungkin untuk menjalankan saran Burung Kukuk. Sementara itu, Gagak terbang menyusul di belakangnya.
Di tepian sungai, Gagak ikut menunggu sementara Burung Hantu berendam. Setelah beberapa jam, bongkahan lumpur yang menempel pada bokong Burung Hantu mulai tergerus oleh aliran alir. Rasa sakit yang sedari tadi diderita Burung Hantu pun mereda.
"Oh, aku merasa jauh lebih baik sekarang," Burung Hantu bergumam senang. Tak lama, lumpur yang mengotori bulu-bulunya luruh sepenuhnya. Luka Burung Hantu berhasil dibersihkan oleh air sungai yang sejuk dan jernih. Maka, pulanglah Burung Hantu dan Gagak ke rumah masing-masing.
Malam itu, Burung Hantu tidur sangat nyenyak. Namun, esoknya, pagi-pagi sekali, ia sudah dibangunkan oleh suara ketukan di cabang pohonnya. "Selamat pagi!" Ternyata si Burung Kukuk yang datang. Ia bersemangat sekali menyapa. "Bagaimana kabar pasienku pagi ini?"
Burung Hantu merengut. "Aku bukan pasienmu. AKu hanya harus berendam dan sekarang aku merasa baikan. Kau sama sekali tidak melakukan apa-apa untukku."
Tidak melakukan apa-apa? Yang benar saja kau!" Burung Kukuk mengoceh. "Aku memeriksamu, menentukan penyakitmu, dan menganjurkan obatnya. Kemarin kau sakit, dan sekarang kau sudah sembuh. Aku adalah dokter yang handal dan jasaku layak untuk dibayar."
"Blah! Jangan bermimpi. Kau bukan dokter!" balas Burung Hantu. "Tanpa anjuranmu, aku pasti akan mandi juga. Dan saat aku mandi, otomatis lumpur yang menempel di bokongku akan hilang. Lalu, aku akan merasa baikan setelah itu."
"Jadi, anjuranmu kemarin itu sebenarnya sia-sia," lanjut Burung Hantu. "Aku tahu kau hanya berusaha menipuku. Karena itu, lupakan saja. Aku tidak akan membayarmu. Pergi sana!"
Burung Kukuk tersinggung. Dengan kesal, ia segera terbang menuju rumah Gagak. "Gagak temanku, selamat pagi," ucap Burung Kukuk sedikit berbasa-basi. "Aku datang untuk menagih hutang Burung Hantu. Temanmu itu menolak untuk membayarku. Dan karena kau telah menjaminnya, maka hutang itu sekarang aku tagihkan kepadamu."
Gagak nyaris tidak bisa mendengar pendengarannya. Selama ini, ia berpikir bahwa Burung Hantu adalah teman yang bisa diandalkan. Dia akan membayar bila sudah berjanji untuk membayar. Lagi pula, dia tidak akan mengorbankan temannya seperti ini.
"Ah, Burung Hantu pasti hanya bergurau," kata Gagak. "Mari kita sama-sama pergi ke tempatnya. Aku yakin semua ini hanya kesalahpahaman belaka." Jadilah Burung Kukuk dan Gagak terbang menuju tempat Burung Hantu. Tetapi mereka tidak melihat siapa-siapa di sana. Mereka mencari dan mencari, tapi tetap tidak bisa menemukan Burung Hantu. Mereka tidak tahu kalau Burung Hantu sedang bersembunyi di dalam rongga pohon.
Setelah beberapa lama mencari, Burung Kukuk menggeleng tidak sabar. "Dengar Gagak. Kau sudah janji, jandi kau harus membayar untuk temanmu." Gagak menundukkan kepala dengan lesu. "Tapi aku tidak punya uang," ucapnya. "Bagaimana caranya aku bisa membayarmu?"
"Kita tanya saja pada hakim kalau begitu," balas Burung Kukuk. Maka, pergilah mereka menemui Jackal Emas, ahli hukum di daerah itu.
Burung Kukuk menjabarkan panjang lebar tentang kasusnya. Jackal Emas mendengar dengan seksama, kemudian menimang-nimang. "Sejujurnya, hukum adalah hukum," ujar Jackal Emas, "Gagak, karena kau sudah bersedia menjamin temanmu, maka kau bertanggung jawab membayar utangnya. Dan karena kau tidak punya uang, maka kau harus bekerja kepada Burung Kukuk sampai lunas utangmu."
Semenjak itu, Gagak harus bertuga menjaga telur-telur milik Burung Kukuk. Sementara Burung Hantu, bagaimana nasibnya? Mungkin tidak terlalu baik. Karena malu bertemu Gagak, ia tidak bisa lagi bebas berkeliaran di siang hari.
Kini, Burung Hantu harus terus menerus bersembunyi di rongga pohon dan hanya bisa keluar mencari makan di malam hari. Sejak itulah, burung hantu tidak lagi aktif di siang hari seperti burung-burung lain.
Diambil dari majalah Media Kawasan bulan Februari 2016.
Baca juga :
Masa itu sudah lama sekali berlalu. Waktu itu Burung Hatu sama sekali tidak terbayang bahwa dia kelak akan menjadi burung hantu seperti yang kita kenal sekarang. Saat itu adalah musim semi yang indah. Udara berembus hangat dan sarat akan keharuman bunga lilac yang bermekaran.
Burung Hantu sedang bersantai di batang sebuah pohon ketika seorang anak laki-laki berjalan melewatinya. Anak ini membawa ketapel, dan ketika ia melihat Burung Hantu, terbitlah rasa usil di hatinya. Tanpa ragu, anak ini mengambil ketapel miliknya dan membidik Burung Hantu.
"Owww!" Burung Hantu memekik kesakitan. Umpan lumpur yang ditembakkan anak laki-laki itu tepat mengenai bokong Burung Hantu. "Aduh...," Burung Hantu merintih. Tanpa daya, ia melihat anak laki-laki itu kabur dengan tawa puas. "Sekarang, apa yang harus kulakukan?"
Burung Hantu benar-benar tidak tahu bagaimana cara meredakan rasa sakitnya. Akhirnya ia bertanya pada Gagak, sahabatnya yang kebetulan sedang terbang di dekat-dekat situ. Siapa tahu, Gagak bisa membantu.
"Hei, Gagak!" panggil Burung Hantu. "Aku baru ditembak ketapel oleh seorang bocah laki-laki. Rasanya sakit sekali. Apa yang harus kulakukan?"
Gagak buru-buru menghampiri dengan prihatin. Ia menggoyang-goyangkan kepala hitamnya yang berkilai ke depan dan ke belakang. sembari memeriksa kondisi Burung Hantu. "Aku juga tidak tahu apa yang harus dilakukan," kata Gagak penuh sesal. "Bagaimana kalau kita pergi menemui Burung Kukuk? Biasanya dia ahli menangangi masalah-masalah seperti ini."
Maka pergilah kedua makhluk itu ke tempat Burung Kukuk. Burung Hantu masih melolong kesakitan ketika tiba di sana. "Tolonglah, apa kau bisa membantu temanku?" tanya Gagak pada Burung Kukuk. "Dia kesakitan karena ditembak ketapel."
"Hmm, bagaimana ya?" Burung Kukuk berpikir-pikir. "Aku bisa saja membantu, tapi aku harus dibayar di muka." Burung Hantu yang malam. Ia tidak memiliki uang atau apa pun yang bisa ditawarkan kepada Burung Kukuk.
"Aku tidak punya apa-apa saat ini," ucap Burung Hantu. "Tapi aku berjanji, begitu sembuh, aku akan mencari cara untuk membayarmu." Aku tidak mengenalmu, bagaimana aku bisa percaya padamu?" balas Burung Kukuk. "Setelah sembuh nanti jangan-jangan kau langsung kabur dan melupakan hutangmu."
Gagak tidak tega melihat Burung Hantu yang kesakitan harus panjang-panjang berdebat. "Tenanglah, Burung Kukuk. Aku yang menjamin temanku," kata Gagak. "Aku janji, kalau sampai Burung Hantu tidak membayar, maka aku yang akan membayar hutangnya."
Burung Kukuk merenungkan tawaran Gagak. "Baiklah, aku terima jaminan itu." Ia akhirnya menyanggupi, lalu merunduk untuk memerika butiran lumpur kering yang masih menempel di bokong Burung Hantu.
"Aku tahu," ucap Burung Kukuk pada Burung Hantu. "Ini yang harus kau lakukan, pergilah ke sungai yang mengalir dan berendamlah di sana selama enam jam. Aku jamin, setelah itu kau pasti sembuh." Burung Hantu merasa amat lega. Ia langsung melesat secepat mungkin untuk menjalankan saran Burung Kukuk. Sementara itu, Gagak terbang menyusul di belakangnya.
Di tepian sungai, Gagak ikut menunggu sementara Burung Hantu berendam. Setelah beberapa jam, bongkahan lumpur yang menempel pada bokong Burung Hantu mulai tergerus oleh aliran alir. Rasa sakit yang sedari tadi diderita Burung Hantu pun mereda.
"Oh, aku merasa jauh lebih baik sekarang," Burung Hantu bergumam senang. Tak lama, lumpur yang mengotori bulu-bulunya luruh sepenuhnya. Luka Burung Hantu berhasil dibersihkan oleh air sungai yang sejuk dan jernih. Maka, pulanglah Burung Hantu dan Gagak ke rumah masing-masing.
Malam itu, Burung Hantu tidur sangat nyenyak. Namun, esoknya, pagi-pagi sekali, ia sudah dibangunkan oleh suara ketukan di cabang pohonnya. "Selamat pagi!" Ternyata si Burung Kukuk yang datang. Ia bersemangat sekali menyapa. "Bagaimana kabar pasienku pagi ini?"
Burung Hantu merengut. "Aku bukan pasienmu. AKu hanya harus berendam dan sekarang aku merasa baikan. Kau sama sekali tidak melakukan apa-apa untukku."
Tidak melakukan apa-apa? Yang benar saja kau!" Burung Kukuk mengoceh. "Aku memeriksamu, menentukan penyakitmu, dan menganjurkan obatnya. Kemarin kau sakit, dan sekarang kau sudah sembuh. Aku adalah dokter yang handal dan jasaku layak untuk dibayar."
"Blah! Jangan bermimpi. Kau bukan dokter!" balas Burung Hantu. "Tanpa anjuranmu, aku pasti akan mandi juga. Dan saat aku mandi, otomatis lumpur yang menempel di bokongku akan hilang. Lalu, aku akan merasa baikan setelah itu."
"Jadi, anjuranmu kemarin itu sebenarnya sia-sia," lanjut Burung Hantu. "Aku tahu kau hanya berusaha menipuku. Karena itu, lupakan saja. Aku tidak akan membayarmu. Pergi sana!"
Burung Kukuk tersinggung. Dengan kesal, ia segera terbang menuju rumah Gagak. "Gagak temanku, selamat pagi," ucap Burung Kukuk sedikit berbasa-basi. "Aku datang untuk menagih hutang Burung Hantu. Temanmu itu menolak untuk membayarku. Dan karena kau telah menjaminnya, maka hutang itu sekarang aku tagihkan kepadamu."
Gagak nyaris tidak bisa mendengar pendengarannya. Selama ini, ia berpikir bahwa Burung Hantu adalah teman yang bisa diandalkan. Dia akan membayar bila sudah berjanji untuk membayar. Lagi pula, dia tidak akan mengorbankan temannya seperti ini.
"Ah, Burung Hantu pasti hanya bergurau," kata Gagak. "Mari kita sama-sama pergi ke tempatnya. Aku yakin semua ini hanya kesalahpahaman belaka." Jadilah Burung Kukuk dan Gagak terbang menuju tempat Burung Hantu. Tetapi mereka tidak melihat siapa-siapa di sana. Mereka mencari dan mencari, tapi tetap tidak bisa menemukan Burung Hantu. Mereka tidak tahu kalau Burung Hantu sedang bersembunyi di dalam rongga pohon.
Setelah beberapa lama mencari, Burung Kukuk menggeleng tidak sabar. "Dengar Gagak. Kau sudah janji, jandi kau harus membayar untuk temanmu." Gagak menundukkan kepala dengan lesu. "Tapi aku tidak punya uang," ucapnya. "Bagaimana caranya aku bisa membayarmu?"
"Kita tanya saja pada hakim kalau begitu," balas Burung Kukuk. Maka, pergilah mereka menemui Jackal Emas, ahli hukum di daerah itu.
Burung Kukuk menjabarkan panjang lebar tentang kasusnya. Jackal Emas mendengar dengan seksama, kemudian menimang-nimang. "Sejujurnya, hukum adalah hukum," ujar Jackal Emas, "Gagak, karena kau sudah bersedia menjamin temanmu, maka kau bertanggung jawab membayar utangnya. Dan karena kau tidak punya uang, maka kau harus bekerja kepada Burung Kukuk sampai lunas utangmu."
Semenjak itu, Gagak harus bertuga menjaga telur-telur milik Burung Kukuk. Sementara Burung Hantu, bagaimana nasibnya? Mungkin tidak terlalu baik. Karena malu bertemu Gagak, ia tidak bisa lagi bebas berkeliaran di siang hari.
Kini, Burung Hantu harus terus menerus bersembunyi di rongga pohon dan hanya bisa keluar mencari makan di malam hari. Sejak itulah, burung hantu tidak lagi aktif di siang hari seperti burung-burung lain.
Diambil dari majalah Media Kawasan bulan Februari 2016.
Baca juga :
0 Response to "Cerita Tentang Gagak, Kukuk dan Burung Hantu"
Post a Comment